Gerimis di Tengah Harapan
Jalanan mulai lenggang. Sesekali deru motor melaju ringan. Cahaya lampu terpantul oranye pada jalanan basah.
Hujan sudah lewat, namun genangan air masih setia melekat. Beriak menuju parit-parit dangkal sepanjang jalan.
Gerimis masih, mengumpul lalu menetes melalui ujung-ujung kemeja yang kupakai. Tanganku sudah keriput sedari tadi.
Hanya sebatang rokok masih menempel di sela bibirku, mengepulkan asap ringan. Sedikit membantu menghangatkan tubuh.
Kubiarkan asap memenuhi rongga paru ku, berharap membantu meringankan beban dalam dada dengan melaju keluar dalam setiap nafas yang ku hela.
Malam semakin dingin, namun aku masih belum menemukan rumah yang kucari. Aku tidak kenal betul kota ini, kenalan pun hanya satu dua. Sedangkan malam ini aku tidak berniat menemui mereka.
Aku mencari pak Rudi, kenalan yang kutemui di warung padang tempo hari, saat aku tengah sibuk melayani pelanggan.
Seorang diri, dengan setelan jas dan kemeja yang kutahu pasti mahal. Duduk bersama wanita cantik yang tengah memperbaiki polesan wajahnya.
Aku bisa tahu namanya dari Robi, tukang parkir di restoran. Pak Rudi pelanggan setia restoran tempatku bekerja, hampir setiap hari dia datang. Makan hanya dengan nasi rendang. Namun yang berubah selalu adalah wanita yang menemaninya.
Lalu apa urusanku menemui dia malam ini? Berjuang ditengah kota padat yang sedang hujan. Jika bukan urusan pelik, sumpah aku tidak akan datang.
Aku berhenti di depan rumah tua yang terlihat agak kumuh. Ini adalah alamat yang kudapat dari Robi. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari ketidakpastian yang menyelimuti benakku.
Kubuka pintu pagar yang sudah berkarat itu perlahan, suaranya yang berdecit membuatku meringis. Langkahku terhenti sejenak saat kulihat sosok seseorang berdiri di beranda. Pak Rudi.
"Wah, kamu sudah datang. Silakan masuk," ujarnya sambil tersenyum tipis. Aku mengangguk pelan dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Interior rumahnya cukup kontras dengan penampilannya yang berkelas. Dindingnya berlumut dan catnya sudah banyak yang mengelupas. Aku melihat sekeliling, mencari tempat yang nyaman untuk duduk.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya Pak Rudi setelah kami duduk di ruang tamu yang sederhana.
Aku merasa tenggorokanku kering. “Pak, saya tidak tahu harus mulai dari mana,” kataku pelan. “Saya datang karena butuh bantuan. Ada masalah yang tidak bisa saya selesaikan sendiri.”
Pak Rudi mengangguk dengan bijak, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi terkejut. "Masalah apa itu?" tanyanya, suaranya terdengar tenang dan meyakinkan.
"Kakakku, dia terlibat masalah dengan orang-orang yang sepertinya sangat berpengaruh. Mereka menagih utang dengan cara yang kasar dan mengancam. Saya tidak tahu harus ke mana lagi."
Pak Rudi diam sejenak, merenung. "Saya tahu beberapa orang yang bisa membantu dalam situasi seperti ini," katanya akhirnya. "Tapi kamu harus tahu, ini bukan urusan yang mudah. Akan ada harga yang harus dibayar."
Aku menelan ludah. "Saya sudah siap, Pak. Asal keluarga saya aman."
"Baiklah," katanya sambil bangkit berdiri. "Kita akan urus ini besok. Malam ini, kamu istirahat saja di sini."
Aku mengangguk dan mengikuti Pak Rudi yang menunjukkan kamar sederhana di ujung lorong. Aku merasa sedikit lega, setidaknya ada harapan bahwa masalah ini bisa selesai.
Malam semakin larut. Suara hujan yang masih turun ringan di luar rumah memberikan irama yang menenangkan. Ku tutup mataku dan berdoa dalam hati, berharap esok hari membawa kabar baik dan akhir dari segala keresahan ini.
Aku terbangun oleh suara pintu yang berderit. Cahaya matahari pagi mulai masuk melalui jendela yang berdebu, menandakan hari baru telah tiba. Ku tatap sekeliling kamar yang sederhana dan ingatanku kembali pada percakapan dengan Pak Rudi tadi malam.
Kuambil beberapa napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi apa yang akan terjadi hari ini. Ketika aku keluar dari kamar, Pak Rudi sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya.
"Selamat pagi," sapanya hangat. "Sarapan sudah siap, makanlah dulu sebelum kita berangkat."
Aku mengangguk dan duduk di hadapannya, mengambil sepotong roti dan mulai memakannya. Sarapan terasa hambar, mungkin karena pikiran yang penuh dengan kekhawatiran.
"Jadi, apa rencana kita, Pak?" tanyaku setelah beberapa suap.
Pak Rudi menatapku dengan mata tajam namun tenang. "Kita akan menemui seseorang yang bisa membantu menyelesaikan masalah utang ini. Tapi ingat, ini mungkin akan melibatkan beberapa kesepakatan yang tidak biasa."
Aku hanya bisa mengangguk. Pilihan lain tidak ada, dan aku sudah bertekad menyelesaikan ini demi keluargaku.
Setelah sarapan, kami berangkat menggunakan mobil Pak Rudi. Jalanan masih sepi, dan udara pagi terasa segar setelah hujan semalam. Kami tiba di sebuah gedung tua di pinggiran kota, tampak seperti tempat yang sudah lama ditinggalkan.
"Di sini?" tanyaku dengan sedikit keraguan.
Pak Rudi mengangguk. "Ini tempatnya. Orang yang akan kita temui adalah seorang pria yang dikenal sebagai Pak Hendra. Dia memiliki banyak koneksi yang bisa membantu dalam situasi seperti ini."
Kami masuk ke dalam gedung itu. Aroma lembap dan suara langkah kami yang bergema menambah kesan misterius tempat ini. Kami berjalan menyusuri lorong gelap hingga sampai di sebuah pintu besar.
Pak Rudi mengetuk pintu tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang pria paruh baya dengan wajah serius muncul. "Pak Rudi, masuklah," katanya sambil memberi isyarat dengan tangannya.
Kami masuk ke dalam ruangan yang lebih terang. Pak Hendra duduk di balik meja besar, dengan tumpukan dokumen di sekitarnya. Dia memandangku sejenak sebelum berkata, "Jadi, kamu yang membutuhkan bantuan?"
Aku mengangguk. "Ya, Pak. Kakak saya terlilit utang dan orang-orang itu mengancam keselamatan kami."
Pak Hendra mengangguk pelan, seolah merenungkan sesuatu. "Baiklah, saya akan membantu. Tapi seperti yang Pak Rudi katakan, ada harga yang harus dibayar. Kamu siap?"
Aku menatapnya dengan penuh tekad. "Saya siap, Pak. Apa pun itu."
Pak Hendra tersenyum tipis, lalu mulai menjelaskan rencananya. Kami akan mengatur pertemuan dengan para penagih utang dan mencoba mencapai kesepakatan untuk melunasi utang tersebut. Jika mereka menolak, Pak Hendra punya cara lain untuk memastikan mereka tidak mengganggu lagi.
Hari itu berlalu dengan cepat. Pertemuan dengan para penagih utang berlangsung tegang, namun berkat negosiasi Pak Hendra, kami berhasil mencapai kesepakatan. Utang kakakku akan dilunasi dengan mencicil dalam waktu yang ditentukan, dan sebagai jaminan, beberapa aset akan ditahan sementara.
Aku menghela napas lega. Masalah ini memang belum sepenuhnya selesai, tapi setidaknya ada jalan keluarnya. Aku berterima kasih kepada Pak Rudi dan Pak Hendra yang telah membantu.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan lebih ringan. Meski jalanan masih basah dan gerimis masih turun, ada harapan baru yang menyertai setiap langkahku. Hidup mungkin penuh dengan masalah, tapi selalu ada cara untuk menghadapinya, asalkan kita tidak menyerah.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca tulisan saya yang sederhana ini, dan mungkin sangat jauh dari harapan sobat-sobat sekalian. Oleh karena itu; luangkanlah waktu sejenak untuk memberi sedikit pesan, kesan dan kritik terhadap tulisan saya. Agar saya bisa selalu belajar untuk lebih baik.
Sapere Aude!