Hujan dan Kenangan

Suara hujan yang menghantam aspal terdengar bising, seolah berkolaborasi dengan gemuruh mobil yang berderu di jalanan Jakarta. Setiap tetesan air yang jatuh dari langit malam menambah dingin suasana, seakan menambah berat beban di bahu Bima. Dia baru saja keluar dari gedung kantornya setelah lembur panjang, matanya berat dan pikirannya masih terjebak dalam setumpuk dokumen dan e-mail yang belum terselesaikan.

Bima menatap sekeliling, mencari tempat untuk berteduh sementara dia menunggu hujan reda. Matanya tertuju pada sebuah warung kecil di pinggir jalan. Payung besar melindungi beberapa kursi plastik dan meja kayu dari hujan deras. Dia bergegas ke sana, berharap dapat menghindari basah kuyup.

Di bawah payung yang nyaris bocor itu, mata bima terserap pada seorang anak laki-laki, sekitar usia sembilan atau sepuluh tahun, duduk dengan tubuh menggigil. Pakaian tipisnya sudah basah kuyup, tapi dia masih berusaha menjajakan minuman yang digendongnya. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar, tapi sorot matanya tetap tegar.

“Minuman, Pak? Es teh, es jeruk?” Suara si anak terdengar serak namun penuh harap.

Bima merogoh sakunya, mencari beberapa lembar uang. Dia tidak benar-benar ingin minum es di tengah hujan seperti ini, tapi hatinya tergerak. “Berapa harganya?”

“Lima ribu satu, Pak,” jawab anak itu dengan suara pelan.

Bima membeli dua botol es jeruk, memberikannya beberapa lembar uang tanpa mengambil kembaliannya. Anak itu mengucapkan terima kasih dengan tersenyum sambil kembali merapatkan kedua belah tangannya. 

Bima menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.

Sejenak, dia teringat pada putrinya di rumah. Ia membayangkan bagaimana Zara, putri kecilnya yang baru berusia tiga tahun, sedang tertidur lelap dalam dekapan hangat ibunya. Bima bisa melihat dengan jelas, Zara tersenyum dalam tidur, perutnya kenyang setelah makan malam yang lezat. 

Bayangan itu membuat hatinya hangat, namun segera digantikan oleh perasaan sesak.

Bima teringat bagaimana dia sering kali pulang larut, terlalu lelah untuk bermain dengan Zara atau membacakan cerita sebelum tidur. Perasaan bersalah menyelinap, mengingatkan pada hari-hari yang hilang bersama keluarganya. 

Tiba-tiba, Bima merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia terisak pelan, tak kuasa menahan rasa rindu dan bersalah yang menghimpit dadanya. Pandangan kaburnya kembali pada si anak penjual minuman, yang kini sedang mencoba mengeringkan diri dengan kain lusuh. 

Tanpa berpikir panjang, Bima bangkit dan mendekati anak itu. “Nak, apa kamu sudah makan malam?” tanyanya lembut.

Anak itu menggeleng pelan. “Belum, Pak. Saya masih harus jualan ini sampai habis.”

Bima merasakan ada simpul yang kian mengencang di hatinya. “Ayo, gabung dengan saya. Kamu bisa makan, sambil menunggu pembeli.”

Anak itu menatapnya dengan ragu, namun akhirnya mengangguk. Bima menarik kursi dan duduk bersama. Suara hujan terdengar lebih tenang, seolah memberi ruang bagi mereka untuk merasakan kehangatan yang lama tak hadir.

Saat anak itu mulai makan dengan lahap, Bima hanya duduk di seberang meja, memandangi bocah kecil yang kuyup itu dengan mata yang masih berkaca-kaca. Dia merasakan rasa bersyukur yang mendalam, namun juga kesedihan yang sulit diuraikan. 

Setelah makan, mereka berpisah jalan. Hujan mulai reda, dan langit malam perlahan menampakkan bintang-bintangnya. 

Dalam perjalanan pulang, Bima merasakan sebuah keputusan menguat di hatinya. Dia ingin lebih hadir untuk Zara, lebih sering di rumah, dan lebih sering merasakan hangatnya pelukan putrinya. Tidak ada pekerjaan yang lebih penting daripada keluarga, pikirnya. Dan malam itu, di tengah dinginnya hujan, Bima menemukan kembali arti sebenarnya dari rumah dan kebahagiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis "Ipar adalah maut": Sebuah sudut pandang tentang orangtua yang naif

Sumber Masalah Burn Out Yang Perlu Karyawan Ketahui

Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap